Pohon Jambu Air di Depan Rumah
Saat membeli tanah itu, kami baru punya seorang anak berumur dua tahun. Kami jatuh hati dengan tanah itu pertama karena murah, kedua dekat dengan tempat kami mengajar. Beli saja tanahnya dulu, membangun rumahnya nanti saja dipikirkan. Tanahnya cukup luas untuk membangun rumah sederhana, karena dari dulu saya berkhayal memiliki rumah yang memiliki halaman belakang.
Saya dibesarkan pada sebuah rumah dalam gang, dinding belakang rumah kami berdempetan dengan dinding belakang rumah orang di gang sebelah. Demikian juga dengan dinding kiri kanan berdempetan dengan dinding rumah tetangga sebelah menyebelah. Hanya ada sedikit tanah di depan rumah untuk meletakkan pot tanaman hias. Sejak SD saya berpikir seperti apa rasanya punya rumah yang ada halaman belakangnya, sehingga kita bisa berjalan mengitari sekeliling halaman rumah.
Saat kami membeli tanah itu, pohon jambu air itu sudah ada, buahnya kecil putih kemerahan. Ketika aku mencoba memakan buahnya rasanya kecut. Beberapa anak kecil juga memetik buah jambu itu, walau mereka tahu kami sudah membeli tanah itu, tentu saja tidak masalah, tanahnya belum ada bangunan. Ada beberapa pohon kelapa juga yang kemudian ditebang saat kami membangun pondasi rumah.
Kami menempati rumah lima tahun setelah tanah itu dibeli, rumah yang masih jauh dari kata layak. Lantainya masih tanah, hanya satu kamar yang baru dicor kasar, belum ada loteng, dindingnya belum diplester, dapurnya berlantai tanah dan beratap daun rumbia.. Sedikit demi sedikit kami melengkapi rumah tersebut.
Pohon jambu air itu terus tumbuh, daunnya rindang menaungi halaman depan rumah sehingga membuat kesejukan di siang hari yang panas. Buahnya ternyata besar, merah merona dan rasanya manis. Tetanggapun banyak yang heran, mengapa buah jambu itu bisa besar dan manis setelah kami tinggal disana. Padahal saya tahu jawabnya, dulu buah jambu itu tidak sempat besar karena anak-anak itu sudah memetiknya saat buahnya masih kecil.
Setiap jambu itu berbuah selalu saja ada teriakan diluar pagar, “Bu, minta jambunya, minta jambunya.” Bila saya sedang lapang dari kesibukan, maka saya bolehkan mereka memanjat satu orang, yang lain tunggu saja di bawah pohon. Beberapa saat kemudian saya mengintip dari gorden, mereka sudah tiga orang di atas pohon, membuat saya berteriak menyuruh mereka turun. Kalau mereka jatuh, kan kami juga yang repot mengantar ke rumah sakit.
Setiap malam buah jambu itu rontok, karena angin dan kena kibasan sayap kelelawar, menyebabkan unggukan buah jambu yang terserak di sekitar pohon. Pekerjaan suami sayalah sebelum pergi mengajar untuk menyapu dan membuang guguran buah jambu tersebut, kadang sampai dua ember saking banyaknya.
Pohon jambu kami terkenal sampai kemana-mana, karena sering sekali orang tak dikenal datang ke rumah, lalu ingin membeli jambu, biasanya dengan alasan istri, adik atau kakaknya sedang hamil muda.
“Kami ga jual jambu,” kataku.
“Ga banyak kok Bu.”
“Maksud saya, ambil saja seperlunya, ga usah bayar.”
Kadang beberapa hari kemudian mereka datang lagi, meminta maaf mengatakan mau beli jambu lagi, karena yang ngidam kepengen lagi. Tetap saja saya katakan ambil saja.
Pernah juga ada yang mengatakan dengan alasan untuk yang ngidam juga, setelah saya silakan mengambil saya terus ke dapur meneruskan masak. Anak saya ke dapur mengatakan, “Ma, orangnya bawa karung, udah penuh satu karung tuh.”
Saya intip dari balik gorden, anak saya benar, mereka berdua memenuhi sebuah karung dengan jambu.
“ Bapak mau jual jambunya?” tanyaku langsung. Dia terlihat salah tingkah.
“Engga kok Bu.”
“ Kami gak pernah jual jambu Pak, kok Bapak malah mau jual?”
“ Iya, ini mau kami beli kok dari Ibu, berapa bu?”
“ Ya sudah pak, bawa saja, saya gak jual jambu.”
Bertahun tahun pohon jambu itu menemani hari-hari kami. Saat anak-anak kami telah remaja, teman mereka berkumpul di bawah pohon jambu itu. Siswa-siswa saya juga datang untuk memetik jambu tersebut. Pohonnya semakin tua, tapi buahnya tetap lebat dan manis.
Duapuluh tiga tahun setelah kami membeli tanah itu, dengan berat hati kami terpaksa menebang pohon jambu tersebut. Rasanya sedih sekali, tapi harus dilakukan. Penyebabnya adalah saat anak tertua kami menikah, tenda hajatan terhalang oleh pohon jambu tersebut, karena itulah dia ditebang.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kasihan..... ditebang karena tenda hajatan....kok ndak di gedung saja hajatannya buk
Ndak izin ninik mamak Buk, kita cari aman, patuh saja
Sepertinya segaaar bunda melihat buahnya jadi pengin. Sayangnya sudah ditebang.
Sekarang nanam lagi jambu madu, tapi masih keciil
Ingat pohon jambu air di depan rumah orang tua dulu, sama di tebang gara-gars hajatan... Kangen manjat pohonnya, seru.
Kok sama ya. Pohon jambu itu menemani anak-anak saya tumbuh, memang kangen